Kamis, 13 Januari 2011

Mengapa Ekosistem Hutan Mangrove (Hutan Bakau) harus Diselamatkan dari Kerusakan Lingkungan

Rusminarto et al. (1984) dalam pengamatannya di areal hutan mangrove di Tanjung Karawang menjumpai 9 jenis nyamuk yang berada di areal tersebut. Dilaporkan bahwa nyamuk Anopheles sp., nyamuk jenis vektor penyakit malaria, ternyata makin meningkat populasinya seiring dengan makin terbukanya pertambakan dalam areal mangrove. Ini mengindikasikan kemungkinan meningkatnya penularan malaria dengan makin terbukanya areal-areal pertambakan perikanan. Kajian lain yang berkaitan dengan polutan, dilaporkan oleh Gunawan dan Anwar (2005) yang menemukan bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan hutan mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih bermangrove (silvofishery). Saat ini sedang diteliti, di mana kandungan merkuri diserap (pohon mangrove, biota dasar perairan, atau pun ikan).

A. Mangrove dan Tsunami

Fungsi dan manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik sebagai tempat pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring intrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya bagi manusia. Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang lalu telah mengingatkan kembali betapa pentingnya mangrove dan hutan pantai bagi perlindungan pantai. Berdasar karakteristik wilayahnya, pantai di sekitar kota Padang ternyata merupakan alur yang sama sebagai alur rawan gempa tsunami dan Dilaporkan bahwa pada wilayah yang memiliki mangrove dan hutan pantai yang relatif baik, cenderung kurang terkena dampak gelombang tsunami tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon/100 m dengan diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar 50% energi gelombang tsunami (Harada dan Fumihiko, 2003 dalam Diposaptono, 2005). Gelombang laut setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi gelombang sebesar 1.493,33 Joule tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove menjadi 0,73 m (Pratikno et al., 2002). Hasil penelitian Istiyanto et al. (2003) yang merupakan pengujian model di laboratorium antara lain menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora spp.) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan mangrove di sepanjang pantai dapat memperkecil efek gelombang tsunami yang menerjang pantai. Mazda dan Wolanski (1997) serta Mazda dan Magi (1997) menambahkan bahwa vegetasi mangrove, terutama perakarannya dapat meredam energi gelombang dengan cara menurunkan tinggi gelombang saat melalui mangrove.

Foto/Gambar Hutan Bakau (Mangrove) di Indonesia

B. Mangrove dan Sedimentasi

Hutan mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai. Erosi di pantai Marunda, Jakarta yang tidak bermangrove selama dua bulan mencapai 2 m, sementara yang berbakau hanya 1 m (Sediadi, 1991). Dalam kaitannya dengan kecepatan pengendapan tanah di hutan mangrove, Anwar (1998) dengan mengambil lokasi penelitian di Suwung Bali dan Gili Sulat Lombok, menginformasikan laju akumulasi tanah adalah 20,6 kg/m/th atau setara dengan 14,7 mm/th (dominasi Sonneratia alba); 9,0 kg/m/th atau 6,4 mm/th (dominasi Rhizophora apiculata); 6,0 kg/m /th atau 4,3 mm/th (bekas tambak); dan 8,5 kg/m/th atau 6,0 mm/th (mangrove campuran). Dengan demikian, rata-rata akumulasi tanah pada mangrove Suwung 12,6 kg/m/th atau 9 mm/th, sedang mangrove Gili Sulat 8,5 kg/m/th atau 6,0 mm/th. Data lain menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya pengendapan tanah setebal antara 6 sampai 15 mm/ha/th atas kehadiran mangrove. Informasi semacam ini sangat diperlukan guna mengantisipasi permasalahan sosial atas lahan timbul di kemudian hari.

C. Mangrove dan Siklus Hara

Penelitian tentang gugur daun telah cukup banyak dilakukan. Hasil pengamatan produksi serasah di Talidendang Besar, Sumatera Timur oleh Kusmana et al. (1995) menunjukkan bahwa jenis Bruguierra parviflora sebesar 1.267 g/m/th, B. sexangula 1.269 g/m/th, dan 1.096 g/m/th untuk komunitas, B. sexangula-Nypa fruticans. Pengamatan Khairijon (1999) di hutan mangrove Pangkalan Batang, Bengkalis, Riau, menghasilkan 5,87 g/0,25m/minggu daun dan ranting R. mucronata atau setara dengan 1.221 g/m/th dan 2,30 g/0,25m/minggu daun dan ranting Avicennia marina atau setara dengan 478,4 g/m/th, dan cenderung membesar ke arah garis pantai.

Hasil pengamatan Halidah (2000) di Sinjai, Sulawesi Selatan menginformasi-kan adanya perbedaan produksi serasah berdasar usia tanamannya. R. mucronata 8 tahun (12,75 ton/ha/th), kemudian 10 tahun (11,68 ton/ha/th), dan 9 tahun (10,09 ton/ha/th), dengan laju pelapukan 74 %/60 hr (tegakan 8 th); 96%/60 hr (tegakan 9 th), dan 96,5%/60 hr (tegakan 10 th). Hasil pengamatan di luar pun memperoleh data produksi berkisar antara 5-17 ton daun kering/ha/th (Bunt, 1978; Sasekumar dan Loi, 1983; Boonruang, 1984; dan Leach dan Burkin, 1985). Sukardjo (1995) menambahkan hasil pengamatan guguran serasahnya sebesar 13,08 ton/ha/th, yang setara dengan penyumbangan 2 kg P/ha/th dan 148 kg N/ha/th. Nilai ini sangat berarti bagi sumbangan unsur hara bagi flora dan fauna yang hidup di derah tersebut maupun kaitannya dengan perputaran hara dalam ekosistem mangrove.

D. Mangrove dan Produktivitas Perikanan

Kebijakan pemerintah dalam menggalakkan komoditi ekspor udang, telah turut andil dalam merubah sistem pertambakan yang ada dalam wilayah kawasan hutan. Empang parit yang semula digarap oleh penggarap tambak petani setempat, berangsur beralih “kepemilikannya” ke pemilik modal, serta merubah menjadi tambak intensif yang tidak berhutan lagi (Bratamihardja, 1991). Ketentuan jalur hijau dengan lebar 130 x nilai rata-rata perbedaan pasang tertinggi dan terendah tahunan (Keppres No. 32/1990) berangsur terabaikan. Padahal, hasil penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) dalam Dit. Bina Pesisir (2004) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Semakin meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut meningkat dengan membentuk persamaan :
Y = 0,06 + 0,15 X
Y merupakan
produksi tangkapan dalam ton/th,
sedangkan X merupakan luasan mangrove dalam ha.

Hasil penelitian lain yang berkaitan dengan ekonomi menunjukkan bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebayak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya (Turner, 1977). Pengurangan hutan mangrove terutama di areal green belt sudah barang tentu akan menurunkan produktivitas perikanan tangkapan.

E. Mangrove dan Intrusi Air Laut

Mangrove juga mampu dalam menekan laju intrusi air laut ke arah daratan. Hasil penelitian Sukresno dan Anwar (1999) terhadap air sumur pada berbagai jarak dari pantai menggambarkan bahwa kondisi air pada jarak 1 km untuk wilayah Pemalang dan Jepara dengan kondisi mangrove-nya yang relatif baik, masih tergolong baik, sementara pada wilayah Semarang dan Pekalongan, Jawa Tengah sudah terintrusi pada jarak 1 km.

F. Mangrove dan Kesehatan

Rusminarto et al. (1984) dalam pengamatannya di areal hutan mangrove di Tanjung Karawang menjumpai 9 jenis nyamuk yang berada di areal tersebut. Dilaporkan bahwa nyamuk Anopheles sp., nyamuk jenis vektor penyakit malaria, ternyata makin meningkat populasinya seiring dengan makin terbukanya pertambakan dalam areal mangrove. Ini mengindikasikan kemungkinan meningkatnya penularan malaria dengan makin terbukanya areal-areal pertambakan perikanan. Kajian lain yang berkaitan dengan polutan, dilaporkan oleh Gunawan dan Anwar (2005) yang menemukan bahwa tambak tanpa mangrove mengandung bahan pencemar berbahaya merkuri (Hg) 16 kali lebih tinggi dari perairan hutan mangrove alami dan 14 kali lebih tinggi dari tambak yang masih bermangrove (silvofishery). Saat ini sedang diteliti, di mana kandungan merkuri diserap (pohon mangrove, biota dasar perairan, atau pun ikan).

G. Mangrove dan Keanekaragaman Hayati

Mangrove juga memiliki fungsi ekologis sebagai habitat berbagai jenis satwa liar. Keanekaragaman fauna di hutan mangrove cukup tinggi, secara garis besar dapat dibagi dua kelompok, yaitu fauna akuatik seperti ikan, udang, kerang, dan lainnya serta kelompok terestrial seperti insekta, reptilia, amphibia, mamalia, dan burung (Nirarita et al., 996). Gunawan (1995) menemukan 12 jenis satwa melata dan amphibia, 3 jenis mamalia, dan 53 jenis burung di hutan mangrove Arakan Wawontulap dan Pulau Mantehage di Sulawesi Utara. Hasil survey Tim ADB dan Pemerintah Indonesia (1992) menemukan 42 jenis burung yang berasosiasi dengan hutan mangrove di Sulawesi. Di Pulau Jawa tercatat 167 jenis burung dijumpai di hutan mangrove, baik yang menetap maupun migran (Nirarita et al., 1996). Kalong (Pteropus vampyrus), monyet (Macaca fascicularis), lutung (Presbytis cristatus), bekantan (Nasalis larvatus), kucing bakau (Felis viverrina), luwak (Paradoxurus hermaphroditus), dan garangan (Herpetes javanicus) juga menyukai hutan mangrove sebagai habitatnya (Nontji, 1987). Beberapa jenis reptilia yang hidup di hutan bakau antara lain biawak (Varanus salvator), ular belang (Boiga dendrophila), ular sanca (Phyton reticulatus), dan jenis-jenis ular air seperti Cerbera rhynchops, Archrochordus granulatus, Homalopsis buccata, dan Fordonia leucobalia. Dua jenis katak yang dapat ditemukan di hutan mangrove adalah Rana cancrivora dan R. limnocharis (Nirarita et al., 1996).

Hutan mangrove juga sebagai habitat beberapa jenis burung yang dilindungi seperti pecuk ular (Anhinga anhinga melanogaster), bintayung (Freagata andrew-si), kuntul perak kecil (Egretta garzetta), kowak merah (Nycticorax caledonicus), bangau tongtong (Leptoptilos javanicus), ibis hitam (Plegadis falcinellus), bangau hitam (Ciconia episcopus), burung duit (Vanellus indicus), trinil tutul (Tringa guitifer), blekek asia (Limnodromus semipalmatus), gegajahan besar (Numenius arquata), dan trulek lidi (Himantopus himantopus) (Sutedja dan Indrabrata, 1992). Jenis-jenis burung Egretta eulophotes, kuntul perak (E. intermedia), kuntul putih besar (E. alba), bluwok (Ibis cinereus), dan cangak laut (Ardea sumatrana) juga mencari makan di dekat hutan mangrove (Whitten et al., 1988).

PERANAN SOSIAL EKONOMIS MANGROVE

Contoh pemanfaatan mangrove, baik langsung maupun tidak langsung antara lain:

A. Arang dan Kayu Bakar

Arang mangrove memiliki kualitas yang baik setelah arang kayu oak dari Jepang dan arang onshyu dari Cina. Pengusahaan arang mangrove di Indonesia sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu, antara lain di Aceh, Riau, dan Kalimantan Barat. Pada tahun 1998 produksi arang mangrove sekitar 330.000 ton yang sebagian besar diekspor dengan negara tujuan Jepang dan Taiwan melalui Singapura. Harga ekspor arang mangrove sekitar US$ 1.000/10 ton, sedangkan harga lokal antara Rp 400,- – Rp 700,-/kg. Jumlah ekspor arang mangrove tahun 1993 mencapai 83.000.000 kg dengan nilai US$ 13.000.000 (Inoue et al., 1999). Jenis Rhizophoraceae seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gym-norrhiza merupakan kayu bakar berkualitas baik karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Harga jual kayu bakar di pasar desa Rp 13.000,-/m yang cukup untuk memasak selama sebulan sekeluarga dengan tiga orang anak. Kayu bakar mangrove sangat efisien, dengan diameter 8 cm dan panjang 50 cm cukup untuk sekali memasak untuk 5 orang. Kayu bakar menjadi sangat penting bagi masyarakat terutama dari golongan miskin ketika harga bahan bakar minyak melambung tinggi (Inoue et al., 1999).

B. Bahan Bangunan

Kayu mangrove seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza sangat cocok digunakan untuk tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena batangnya lurus dan dapat bertahan sampai 50 tahun. Pada tahun 1990-an dengan diameter 10-13 cm, panjang 4,9-5,5 m dan 6,1 m, satu tiang mencapai harga Rp 7.000,- sampai Rp 9.000,-. Kayu ini diperoleh dari hasil penjarangan (Inoue et al., 1999).

C. Bahan Baku Chip

Jenis Rhizophoraceae sangat cocok untuk bahan baku chip. Pada tahun 1998 jumlah produksi chip mangrove kurang lebih 250.000 ton yang sebagian besar diekspor ke Korea dan Jepang. Areal produksinya tersebar di Riau, Aceh, Lampung, Kalimantan, dan Papua. Harga chip di pasar internasional kurang lebih US$ 40/ton (Inoue et al., 1999).

D. Tanin

Tanin merupakan ekstrak kulit dari jenis-jenis R. apiculata, R. Mucronata, dan Xylocarpus granatum digunakan untuk menyamak kulit pada industri sepatu, tas, dan lain-lain. Tanin juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan lem untuk kayu lapis. Di Jepang tanin mangrove digunakan sebagai bahan pencelup dengan harga 2-10 ribu yen (Inoue et al., 1999).

E. Nipah

Nipah (Nypa fruticans) memiliki arti ekonomi yang sangat penting bagi masyarakat sekitar hutan mangrove. Daun nipah dianyam menjadi atap rumah yang dapat bertahan sampai 5 tahun (Inoue et al., 1999). Pembuatan atap nipah memberikan sumbangan ekonomi yang cukup penting bagi rumah tangga nelayan dan merupakan pekerjaan ibu rumah tangga dan anak-anaknya di waktu senggang. Menurut hasil penelitian Gunawan (2000) hutan mangrove di Luwu Timur menopang kehidupan 1.475 keluarga perajin atap nipah dengan hasil 460 ton pada tahun 1999.

F. Obat-obatan

Beberapa jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional. Air rebusan R. apiculata dapat digunakan sebagai astrigent. Kulit R. mucronata dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan. Air rebusan Ceriops tagal dapat digunakan sebagai antiseptik luka, sedangkan air rebusan Acanthus illicifolius dapat digunakan untuk obat diabetes (Inoue et al., 1999).

G. Perikanan dan Rehabilitasi Mangrove

Sudah diulas di depan bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebayak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya (Turner, 1977). Dari sini tampak bahwa keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi produktivitas perikanan pada perairan bebas. Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisisr. Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1978. Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpangsari pada hutan jati, di mana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman polowijo, dengan jangka waktu 3-5 tahun masa kontrak (Wirjodarmodjo dan Hamzah, 1984).

Semula, empang parit ini hanya berupa parit selebar 4 m yang disisihkan dari tepi areal kegiatan reboisasi hutan mangrove, sehingga keluasannya mencapai 10-15% dari total area garapan. Jarak tanam 3 m x 2 m, dengan harapan 4-5 tahun pada akhir kontrak, tajuk tanaman sudah saling menutup (Wirdarmodjo dan Hamzah, 1984; Perum Perhutani Jawa Barat, 1984). Sejak tahun 1990 dibuat sistem pola terpisah (komplangan) dengan 20 % areal untuk budidaya ikan dan 80% areal untuk hutan dengan pasang surut bebas.

Dari sistem silvofishery semacam ini dengan pemeliharaan bandeng dan udang liar dapat dihasilkan keuntungan sebesar Rp 5.122.000,-/ha/tahun untuk 2 kali panen setiap tahun (Perum Perhutani, 1995). Dalam membandingkan pola silvofishery di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pola komplangan menunjukkan perbandingan relatif lebih baik daripada pola empang parit, baik dalam hal produktivitas perairan maupun pertumbuhan mutlak, kelangsungan hidup maupun biomassa bandeng yang dipelihara pada masing-masing pola (Sumedi dan Mulyadhi, 1996). Selisih pertumbuhan mutlaknya hanya 9,6 g sedangkan biomassanya 7,1 kg/m
3

Hasil ini berbeda dengan penelitian Poedjirahajoe (2000) yang mengemukakan bahwa justru pola empang parit menghasilkan bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata-rata 1 kg lebih berat dibandingkan dengan pola komplangan. Namun demikian, kedua sistem ini turut membantu dalam meningkatkan income petani petambak. Masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove dengan sistem ini cukup besar. Data dari KPH Purwakarta menunjukkan bahwa dari luas areal mangrove seluas 14.535 ha dapat melibatkan sebanyak 4.342 KK dalam kegiatan silvofoshery (Perhutani Purwakarta, 2005). Data dari Badan Litbang Pertanian (1986) dalam Anwar (2005) menggambarkan bahwa kontribusi dari usaha budidaya tambak dengan luas total 208.000 ha dapat menghasilkan 129.279 ton ikan dan udang yang apabila ditaksir, nilainya melebihi dari Rp 138 milyar. Kegiatan ini pun dilaporkan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 117.034 KK yang sudah barang tentu dapat memberikan penghasilan yang lebih baik bagi petani kecil.

H. Pertanian

Keberadaan hutan mangrove penting bagi pertanian di sepanjang pantai terutama sebagai pelindung dari hempasan angin, air pasang, dan badai. Budidaya lebah madu juga dapat dikembangkan di hutan mangrove, bunga dari Sonneratia sp. dapat menghasilkan madu dengan kualitas baik. Tempat di areal hutan mangrove yang masih terkena pasang surut dapat dijadikan pembuatan garam. Pembuatan garam dapat dilakukan dengan perebusan air laut dengan kayu bakar dari kayu-kayu mangrove yang mati. Di Bali, garam yang diproduksi di sekitar mangrove dikenal tidak pahit dan banyak mengandung mineral dengan harga di pasar lokal Rp 1.500,-/kg, sedangkan bila dikemas untuk dijual kepada turis harganya menjadi US$ 6 per 700 gram (Rp 68.000,-/kg). Air sisa rebusan kedua dimanfaatkan untuk produksi tempe dan tahu dan dijual dengan harga Rp 2.000,-/liter (Inoue et al., 1999).

I. Pariwisata

Hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi obyek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa Barat), dan Cilacap (Jawa Tengah). Hutan mangrove memberikan obyek wisata yang berbeda dengan obyek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada di peralihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa hal. Para wisatawan juga memperoleh pelajaran tentang lingkungan langsung dari alam. Pantai Padang, Sumatera Barat yang memiliki areal mangrove seluas 43,80 ha dalam kawasan hutan, memiliki peluang untuk dijadikan areal wisata mangrove.

Kegiatan wisata ini di samping memberikan pendapatan langsung bagi pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir, juga mampu menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan menyediakan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, seperti membuka warung makan, menyewakan perahu, dan menjadi pemandu wisata.

Ayo Hemat Kertas

  • Untuk memproduksi 1 ton kertas, dibutuhkan 3 ton kayu dan 98 ton bahan baku lainnya
  • 1 ton kertas = 400 rim = 200.000 lembar
  • Untuk memproduksi 1 Kilogram kertas dibutuhkan 324 liter air (environment Canada). Untuk memproduksi 1 ton kertas dibutuhkan 324.000 liter air akan menghasilkan gas karbondioksida (CO2) kurang lebih 2,6 ton atau sama dengan emisi gas buang yang dihasilkan oleh mobil selama 6 bulan serta dihasilkan kurang lebih 72.200 liter limbah cair dan 1 ton limbah padat
  • Mendaur ulang 1 ton kertas menyelamatkan kira-kira 17 batang pohon (Purdue Research Foundation and US Environmental Protection Agency, 1996)
  • Mendaur ulang kertas menggunakan 60% energi yang lebih sedikit dibandingkan membuat kertas dari batang pohon
  • Mendaur ulang 1 ton kertas dapat menghemat 682.5 galon bahan bakar dan 7000 galon air dan 4000 kwh listrik (Onondaga Resource Recovery Center)

Jumat, 04 Juni 2010

Sekedar Info : Jenis Kode Plastik


JENIS KE 1:
Tanda ini biasanya tertera logo daur ulang dengan angka 1 di tengahnya serta tulisan PETE atau PET (polyethylene terephthalate) di bawah segitiga. Biasa dipakai untuk botol plastik, berwarnah jernih transparan atau tembus pandang seperti botol air mineral dan hampir semua botol minuman lainnya. BOTOL JENIS PET / PETE ini direkomendasikan hanya sekali pakai. Bila terlalu sering dipakai, apalagi bila digunakan untuk menyimpan air hangat apalagi panas, akan mengakibatkan lapisan polimer pada botol tersebut akan meleleh dan mengeluarkan zat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker) dalam jangka panjang.

JENIS KE 2:
Umumnya pada bagian bawah botol plastik tertera logo dengan angka 2 di tengahnya, serta tulisan HDPE (High Density polyethylene) di bawah segitiga. Biasa digunakan untuk botol susu, yang berwarna putih susu, tupperware, galon air minum, kursi lipat, dan lain-lain. HDPE memiliki sifat bahan yang lebih kuat, keras, buram, dan lebih tahan terhadap suhu tinggi. HDPE merupakan salah satu bahan plastik yang aman untuk digunakan karena kemampuan untuk mencegah reaksi kimia antara kemasan plastik berbahan HDPE dengan makanan atau minuman yang dikemasnya. Sama seperti PET / PETE, HDPE juga direkomendasikan hanya untuk sekali pemakaian karena pelepasan senyawa antimoni trioksida terus meningkat seiring waktu.

JENIS KE 3:
Tertera logo daur ulang (terkadang berwarna merah) dengan angka 3 di tengahnya, serta tuliasn V.V itu berarti PVC (Polyvinyl Chloride), yaitu jenis plastik yang paling sulit didaur ulang. Plastik ini bisa ditemukan pada plastik pembungkus (clina wrap), dan botol-botol. Reaksi yang terjadi antara PVC dengan makanan yang dikemas dengan plastik ini berpotensi berbahaya untuk ginjal, hati, dan berat badan. Sebaiknya kita mencari alternatif pembungkus makanan lain (bukan bertanda 3 dn V) seperti plastik yang terbuat dari polietilena atau bahan alami (daun pisang misalnya)

JENIS KE 4:
Tertera logo daur ulang dengan angka 4 ditengahnya serta tulisan LDPE. LDPE (Low Density polyethylene) yaitu plastik tipe cokelat (thermoplastic / dibuat dari minyak bumi), biasa dipakai untuk tempat makanan, plastik kemasan, dan botol-botol yang lembek.
Sifat mekanis plastik LDPE adalah:
1. Kuat
2. Agak tembus cahaya
3. Fleksibel dan permukaan agak berlemak
4. Pada suhu dibawah 60 'C sangat resisten terhadap senyawa kimia
5. Daya proteksi terhadap uap air tergolong baik
6. Kurang baik terhadap gas-gas yang lain, seperti oksigen
7. plastik ini dapat didaur ulang, baik untuk barang-barang yang memerlukan fleksibilitas tetapi kuat, dan memiliki resistensi yang baik terhadap reaksi kimia.
Barang-Barang LDPE ini sulit untuk dihancurkan, tetapi baik untuk tempat makanan karena sulit bereaksi secara kimiawi dengan makanan yang dikemas dengan bahan ini.

JENIS KE 5:
Tertera logo daur ulang dengan angka 5 di tengahnya, serta tulisan PP. Karakteristik biasa adalah botol transparan yang tidak jernih atau tidak berawan. Polipropilen lebih kuat dan ringan dengan daya tembus uap yang rendah, ketahanan yang baik terhadap lemak, stabil terhadap suhu tinggi dan cukup mengkilap. Jenis PP (Polypropylene) ini adalah pilihan bahan plastik yang terbaik, terutama untuk makanan dan minuman, seperti tempat menyimpan makanan, botol minum dan yang terpenting botol minum untuk bayi.
Carilah dengan kode angka 5 bila membeli barang berbahan plastik untuk menyimpan kemasan berbagai makanan dan minuman.

JENIS KE 6:
Tertera logo daur ulang dengan angka 6 di tengahnya, serta tulisan PS. PS (Polystyrene)
ditemukan tahun 1839, oleh Eduard Simon, seorang apoteker dari Jerman, secara tidak sengaja. PS biasa dipakai sebagai bahan tempat makanan styrofoam, tempat minum sekali pakai, dan lain-lain. Polystyrene merupakan polimer aromatik yang dapat mengeluarkan bahan styrene ke dalam makanan ketika makanan tersebut bersentuhan. Selain tempat makanan, styrene juga bisa didapatkan dari asap rokok, asap kendaraan dan bahan konstruksi gedung.
Bahan ini harus dihindari karena selain berbahaya untuk kesehatan otak, mengganggu hormon estrogen pada wanita yang berakibat pada masalah reproduksi, pada pertumbuhan dan sistem syaraf, juga karena bahan ini sulit didaur ulang. Bila didaur ulang, bahan ini memerlukan proses yang sangat panjang dan lama. Bahan ini dapat dikenali dengan kode angka 6, namun bila tidak tertera kode angka tersebut pada kemasan plastik, bahan ini dapat dikenali dengan cara dibakar (cara terakhir dan sebaiknya dihindari). Ketika dibakar, bahan ini akan mengeluarkan api berwarna kuning-jingga.

JENIS KE 7:
Tertera logo daur ulang dengan angka 7 di tengahnya, serta tulisan OTHER.
Untuk jenis plastik 7 OTHER ini ada 4 jenis, yaitu:
1. SAN - styrene acrylonitrile
2. ABS - acrylonitrile butadiene styrene
3. Polycarbonate
4. Nylon
Dapat ditemukan pada tempat makanan dan minuman (seperti botol minum olahraga) suku cadang mobil, alat-alat rumah tangga, komputer, alat-alat elektronik, dan plastik kemasan. SAN dan ABS memiliki resistensi yang tinggi terhadap reaksi kimia dan suhu, kekuatan, kekakuan, dan tingkat kekerasan yang telah ditingkatkan. Biasanya terdapat pada mangkuk mixer, pembungkus termos, piring, alat makan, penyaring kopi, dan sikat gigi, sedangkan ABS biasanya digunakan pada bahan mainan lego dan pipa.
Plastik dengan jenis 7 yaitu SAN dan ABS merupakan salah satu bahan plastik yang sangat baik untuk digunakan dalam kemasan makanan ataupun minuman. Bagaimana dengan jenis plastik dengan kode 7 serta tulisan PC? PC atau polycarbonate dapat ditemukan pada botol susu bayi, gelas anak balita (sippy cup), botol minum policarbonat, dan kaleng kemasan makanan dan minuman (termasuk kaleng susu formula). Jenis ini dapat mengeluarkan bahan utamanya yaitu bisphenol-A ke dalam makanan dan minuman yang berpotensi merusak sistem hormon, kromosom pada ovarium, penurunan produksi sperma, dan mengubah fungsi imunitas. Dianjurkan tidak digunakan untuk tempat makanan ataupun minuman. Ironisnya, botol susu sangat mungkin mengalami proses pemanasan, entah itu untuk tujuan sterilisasi dengan cara merebus, dipanaskan dengan microwave, atau ditunangkan dengan air mendidih.

Rabu, 02 Juni 2010

Hasil Dari Sampah Plastik

Plastik merupakan sampah yang termasuk mencemari lingkungan dan tidak bisa terurai di tanah walaupun lebih dari jangka waktu 500 tahun sekalipun. Banyak sampah plastik yang bisa kita jumpai di lingkungan, diantaranya sampah botol plastik (botol bekas minuman air mineral, botol oli, dll), sampah tas plastik atau pembungkus plastik (tas kresek, pembungkus makanan, dll), kemudian sampah plastik kemasan produk (kemasan makanan ringan, kemasan detergen, kemasan minyak goreng, dll).

Diantara sekian banyak sampah plastik, ada yang bisa didaur ulang. Seperti botol plastik didaur ulang atau diolah menjadi biji plastik, atau yang pernah saya tahu botol plastik air mineral bisa juga dibuat menjadi kerajinan tangan berupa hiasan-hiasan unik.Untuk plastik kemasan produk bisa dijadikan tas untuk belanja, kantong untuk menyimpan barang, dan masih banyak lagi sesuai kreasi. Tentunya sampah plastik bekas tersebut bisa lebih bermanfaat daripada plastik tersebut dibuang begitu saja dan akan mencemari atau merusak lingkungan.
Untuk itu saya akan mencoba memasarkan produk tas yang terbuat dari bekas sampah plastik kemasan produk dan selain itu juga untuk mengurangi pencemaran lingkungan oleh limbah plastik bekas.